Malam ini awal musim penghujan non. kota tua kita terguyur tetes-tetes air dari langit itu, indah sekali. Kebun-kebun padma itu mulai tampak hidup, bunganya mulai bermekaran indah. Begitu juga dengan kamboja di sudut jendala ini, mulai mekar dan berkisah tentang harinya. Halaman-halaman rumput itu begitu segar dan mempunyai essense sendiri dari basahnya, entahlah non tapi lebih wangi dari parfum manapun yang kukenal, parfummu bahkan. Walau aku kini mulai lupa wangi parfum itu, senyummu bahkan aku mulai lupa. Sebenarnya ingin sekali mengingatnya, membauinya walau engkau sejauh puluhan kali rasi bimasakti.
Gitanjali di tanganku ini belum lagi habis kubaca, saat tetes terakhir ekspresso meresap dilidahku, yang kerap kelu saat berbicara denganmu. Malam ini aku menikmati seperti biasanya di sofa favorit di kafe ini. Hanya beberapa langkah dari tempatmu menjemput senja, pulang dengan langkah lunglai atau tawa renyah karena sudah habis waktumu hari ini berkutat dengan segala angka dan birokrasi. Bagai sebuah ritme not yang kerap dimainkan di atas steinway klasik, berplitur jati.
Kadang di musim-musim seperti ini aku berharap kembali lagi melihat pelangi, pelangi dalam artian sesungguhnya. Benda setengah lingkaran yang warnanya seindah kosong matamu. Namun pelangi itu tak jua tiba, bahkan hanya untuk mengkonfirmasi kedatangannya lewat sms atau sambungan jarak jauh. kurasa engkau juga telah memakan pelangi itu, seperti engkau makan bulanku. tapi tak apa, aku lebih suka kau memakannya.
Bagaimana kabarmu disana ? bagaimana dirimu sekarang ? kemarin siang manyar-manyar itu mampir ke jendela ini. Berkata malu-malu bahwa engkau telah memotong rambut panjangmu. Sekarang model apa ? membentuk apa ? sebuah puisikah ? atau cerita dari negeri segala lupa mungkin. Ah aku penasaran melihatnya, besok bisikkan kepada manyar-manyar yang kerap mampir itu, biar mereka yang ceritakan kepadaku.
O ya
Kau ingat pohon oak kecil itu, sekarang bertambah besar dan kuat. Ia tumbuh dewasa, kadang meranggas, kadang begitu lebat daunnya. Ratusan orang telah datang ke dalam teduhnya, walau hanya untuk duduk-duduk dan tidur-tiduran bahkan. Kadang aku tercenung, aku ingin sekali menjadi pohon itu, ya…..seperti pohon itu. Yang sukarela memberti teduhnya, agar kamu juga bisa berteduh dibawahnya. Apalagi di musim hujan seperti ini, kamu bisa berteduh dengan siapa saja yang kamu inginkan. Setelah itu cukuplah tinggalkan bayangmu disana.
Sekarang sudah pukul 2 pagi di negeri kemarau ini, cuaca menusuk dingin, bekas-bekas hujan yang turun sore tadi. Di setiap genangan air menuju rumahku, rinduku ikut menetes berbaur dengannya. Rindu pada tawamu…rindu pada senja yang silaukan matamu, sehingga kau tak lagi bisa tertawa dengan kelengkapan dua buah bola mata.
dipost oleh admin, atas ijin sang penulis
jakarta 11-feb-07
No comments:
Post a Comment