Monday, February 12, 2007

pemulung

Malam tadi kuakhiri mimpi di pohon perdu itu, segumpal roti gandum yang sudah dingin kuselipkan ke tas kresek ini. Ah…ini hari mencari plastik-plastik dan botol-botol hasil gelombang besar banjir beberapa hari lalu. Semua itu pasi sedang menunggu di sortir di penampungan-penampungan sampah dan pintu-pintu air dikota ini. Sejenak kuseka kantuk dari mataku, kaki dekil tanpa alas ini mulai perlahan menjejak di spanjang trotoar penuh debu. Masih belasan kilometer lagi menuju tempat itu, sebuah pintu air raksasa yang sudah berkarat termakan usia, di daun pintunya ribuan lalat menggerumun mencari makan dan mungkin melepas dahaga. Pada permukaan air bisa kau lihat jutaan rupa menumpuk disana, seperti toko serba ada versi sampah.

Pada tepian pintu teman-teman satu profesiku sibuk mengulurkan galah mereka satu persatu menarik apa saja yang bisa dijual kembali. Botol plastik, sisa ember pecah sampai tali timba bahkan. Lantas kuambil kuda-kuda di tengah tumpukan sampah yang terus datang ini, di sudut mataku berkilat seonggok benda merah jambu. Aneh tidak ada yang ingin mengambilnya, mungkin memang karena tidak laku untuk dijual, atau benda itu terlalu banyak yang memilikinya. Entahlah, aku terus terpaku pada benda itu. Sejenak kuulurkan galah, berusaha mengaisnya di antara tumpukan sampah yang lain, sampah banjir ….yang penuh segala kuman bakteri dan najis, persis seperti yang dikabarkan di harian ibukota.

Setelah berusaha beberapa lama, akhirnya benda itu ku dapatkan, mambang sudah turun waktu itu. Air yang semakin pasang, dan benda ditangan membuatku membawa cepat-cepat naik ke permukaan pintu air. Sampai di atas perlahan ku bersihkan kotoran yang menempel di benda merah jambu ini. Makin ku bersihkan, sku makin kenal dengan sosoknya, sebuah benda yang sudah tidak asing lagi, benda seukuran dua kepalan tangan berwarna merah jambu.

perlahan tangisku tumpah..benda ini adalah hatiku, yang pernah kutitipkan padamu cantik. Semenjak di bawah rel kereta itu telah kubungkus rapi benda ini untuk ku titipkan padamu dan sekarang harus berakhir di tumpukan sampah kota kita…..kemana engkau penjaga hatiku….kemana engkau….


dipost oleh admin
jakarta 12-feb-07

Sunday, February 11, 2007

amnesia sepenuh hati

Wis, tujuh ratus delapan puluh tiga hari berlalu dari hadapan kita kini. Tak lelah kusapu jalan setapak di pinggir rumah kita meski tak pernah bersih dari kotoran-kotoran yang dijatuhkan burung-burung musim semi dan sampah plastik bekas jajan anak sekolah yang selalu diterbangkan angin memenuhi bulatan-bulatan semen yang kau pasang rapih itu. Aku hampir tak tahu apakah ritual atau siklus yang membelengguku, karena siklus selalu datang setiap kali, sementara ritual telah membekukan hari-hariku ke dalam catatan waktu yang tak pernah terpecahkan oleh kecepatan otakku. Dan malam ini, ketika sunyi meresap pada batubatu yang semakin menghitam, kenangan muncul begitu jelas dalam kelam, lalu menggocoh dan mengelupasi parut-parut memori yang lama mengering dan menebal. Kalau dapat kumasuki labirin benakmu, tentu ingin kucari tahu mengapa kau masih saja berkeliaran sekarang, Wis.

Sih, tujuh ratus delapan puluh tiga hari berlalu dari hadapan kita kini. Belum juga kukenali jalan setapak di pinggir rumah itu meski katamu akulah yang memasangkan bulatan-bulatan semen dimana kaki-kaki jenjangmu selalu menapakinya untuk menjumpaiku. Kau tahu aku masih dan selalu akan ada di sekitarmu sambil melipat-lipat kenangan ini menjadi burung-burung yang akan kuterbangkan pada pesta musim semi di akhir pekan nanti. Apakah kau akan hadir juga di sana, Sih?

Wis, ingatkah kau bahwa aku tak pernah menyukai pesta dan kemeriahan itu? Ya, kulihat kau bersolek dengan rapih untuk pesta itu. Waktu berhasil meluluhkan bekumu ke dalam sebaskom lirik yang melapuk rupanya, meski tak kusangka secepat ini kau berubah pendirian. Tenanglah, selamat menikmati pesta musim semi. Aku tak akan datang, akan kuhabiskan malam di beranda rumah menatap langit yang pasti dihiasi semburan kembang api pesta. Mungkin akan kutemani bintang sekedipan yang menatap iri pada pestamu. Kami akan berbincang akrab sambil merayakan sunyi.

Sih, sakitkah rasanya?

Wis, kau yang mengenalkan aku pada ribuan kombinasi rasa yang ada padanya. Kalau saja rasa itu begitu bernilai untuk semua orang dan berlaku universal, tentu sudah kupotong habis, kumasukkan dalam amplop-amplop cokelat, lalu kukirim kepada sahabat-sahabatku. Sayangnya, tidak. Rasa itu selalu menjadi senyawa yang berbeda setiap kali ia menyentuh kulitku, hingga sia-sia saja bertahun-tahun waktu yang kuhabiskan untuk mencari rumusan rasa yang kau tanyakan: sakitkah?

Kau masih sama, Sih. Tak juga kau ijinkan aku bertamu bahkan sejenak saja dalam duniamu. Lalu, bagaimana akan kutemukan jawabnya?

Apakah kau tahu dimana duniaku berada, Wis? Kalau sisa dunia itu bahkan kini mulai membangun kembali reruntuhannya, kau tak tahu dimana ia berada. Kau tahu, aku sering berharap suatu saat terbentur hati kepada tembok dan kudapati diriku terbenam dalam amnesia sepenuh hati.

Sih, sesalku tak habis oleh umurku. Kau tahu itu sejak mula. Kau yang mengurai luka-lukaku di malam-malam tak bertuan yang begitu tekun kau susuri. Mengapa kau sembunyikan semua dariku, sedang telah kau jelajahi diriku pada malam ketika aroma rumput basah karena embun menyesaki paruparu kita. Senafas kita melarut dalam harumnya dini hari, ingatkah kau, Sih?

Betapa rumput-rumput imaji itu telah tumbuh begitu liarnya dalam benakku, Wis! Ah, andai kau tahu rasanya, telah kutebas habis tapi selalu ia berbalik mengikis rusuk-rusukku. Masih kucari dimana rusuk ini seharusnya berada, sebab kutahu bukan padamu seharusnya rusuk itu berada setelah terkikis imaji liar yang menciutkannya begitu rupa.

Sih, sesalku meresap bersama tarik nafasku. Mari kubantu kau membabat semuanya!

Apa yang akan kau ketahui dari reruntuhan yang sedang kubangun ini, Wis? Sedang jejaknya bahkan tak terbaca olehmu. Tiga peta kuberikan, dan telah kau buang begitu saja.

Sih, malam telah semakin gelap. Jangan sendiri saja.
Wis, malam adalah rumahku.
Sejak kapankah itu, Sih?
Dan kapankah kita pernah bersua, Wis?
Sih, gelap telah meluap.
Ya. Gelap telah melekat pada ariku. Apakah kau takut, Wis?

Kembalilah pada terangmu.

Wis, kau tahu aku tak pernah terlalu terang untuk dapat menyilaukan malam. Pada malam telah kutuangkan warna-warna kelabuku.

Pada malam, Sih?

Ya, pada malam yang mencintaiku dengan caranya memekatkan rasaku tanpa sekatsekat begitu dekat, yang menggenggamku erat-erat sewaktu kubisikkan resahku.

kamarbirukusam di rumahpojok, 03.00


dipost oleh admin, atas ijin sang penulis

milka natalia basuki

jakarta 11-feb-07

sepulang kuliah

Siang ini matahari Singapura cukup terik. Aku sedang membenahi peralatan lukisku di kelas terakhir. Seperti biasa, kuas dan cat air selalu berdesakan: berebut ingin dirapikan lebih dulu. Maka lekas-lekas kudamaikan mereka dan kusimpan kedalam tas tua: hijau dan lusuh dengan beberapa robekan berarti yang menandakan pengabdian, sudah 9 tahun umurnya. “Ini dia tas kesayanganku.”

Di luar kelas, aku berpaling sesaat pada teras sambil menghela nafas dan kulihat seorang gadis sedang berjalan menuju gedung ini. Kulambaikan tangan dan tersenyum, namun ia hanya menoleh sesaat sambil sibuk dengan kardus yang dijinjingnya. Sepertinya sedang terburu-buru. Aku juga teringat kalau sudah pukul 4 dan aku pun harus lekas.

Aku berjalan menuju tangga ke bawah dan seperti dugaanku, aku berpapasan dengannya. Gadis itu sepertinya tengah ketinggalan kelas dan akhirnya ia berlalu saja dengan hanya sempat kulirik sebentar pada wajahnya yang tergesa. Lalu kulanjutkan menuruni tangga, menuju pintu keluar pejalan kaki.

Ah, gadis itu tadi adalah yang baru kukenal beberapa hari lalu. Ia tak juga manis, tapi juga tapi cerdas dalam debat yang di gelar dalam kelas (itulah yang kusuka). Hari itu kita bertemu di kantin. Entah mengapa ia menghampiri mejaku sambil menyapa temanku ditambah beberapa obrolan sampai ia tanya namaku pada temanku itu. Memang aku tak perlu berkenalan, sebab sudah lama aku memperhatikannya sejak beberapa hari aku memulai kuliah. Kami berkenalan sambil dicobanya untuk menggambar wajahku. “Sorry if I draw your face like anime,” katanya. Aku tertawa renyah sambil kulahap makan siang. Hmmh. Kali itu mungkin aku merasa terganggu, sebab tak biasanya aku tak menikmati makan. Apalagi menu siang itu adalah chicken vegetable rice kesukaanku. Dengan nafsu yang tersisa, kulahap habis makananku sambil tersenyum melihat hasil gambarnya yang tak karuan. Setelah makanku selesai, aku pun pamit sebab kelas selanjutnya sedang menunggu. Namun entah mengapa, gadis itu masih asik saja dengan kertas gambarnya. Dan aku sedikit kecewa dengan waktu yang tak berpengertian.

Sekarang aku sudah di pintu keluar pejalan kaki. Pintu ini kecil dan biasa dijadikan smoking corner. Memang bisa gawat kalau sedang ramai dan kepulan asap rokok sedang tebal: selain jalan jadi terhambat, nafas pun jadi tersendat. Aku berbegas saja melalui pintu itu dan kutapaki jembatan penyebarangan ke jalur seberang dimana akan kutunggu bus: nomor 14.

Bus yang satu ini memang lambat. Lama ditunggu, aku malah mencium bau asap rokok lagi. Ada yang merokok berjarak 2 meter di sampingku. Aku perhatikan sebentar sambil tercenung: dia menghisap rokok atau ia yang dihisap rokok? Tapi rokok selalu mati terlebih dahulu dan kemudian menanamkan ruhnya dalam tubuh orang itu. “Mari sayang, hisap aku hingga ke dalam ceruk hidupmu…”

Akhirnya bus datang juga. Aku segera naik sebab tak ingin ketinggalan bus yang pemalas ini. Air-con di dalam bus cukup sejuk untuk mengimbangi cuaca, sambil kunikmati perjalanan de javu: pemandangan setiap yang hari selalu sama.

Setelah beberapa bus stop, bus berhenti di sebuah bus stop yang cukup ramai dan di sana naiklah beberapa penumpang. Kadang kalau kursi di sebelah sedang kosong, maka benak boleh mempersilahkan imajinasi: memilih seseorang gadis dari beberapa yang sedang memasuki bus dan melangkah menuju salah satu kursi; mempersilahkan seorang gadis manis untuk duduk disebelah kursiku agar imajinasi dapat iseng-iseng menggodanya. Walau akhirnya pun aku tak berkesempatan memandangi kemanisannya dan hanya biru langit yang bisa kupandangi siang ini melalui jendela bus.

Gadis manis… Entah, malah bayangan senyum manis gadis kenalanku itu yang menghampiri pikiran. Sambil tersenyum, biar kubayangkan apa yang ada di hatinya sepanjang hari ini…


dipost oleh admin, atas ijin sang penulis

steven kurniawan

jakarta 11-feb-07

rindu kamu

Malam ini awal musim penghujan non. kota tua kita terguyur tetes-tetes air dari langit itu, indah sekali. Kebun-kebun padma itu mulai tampak hidup, bunganya mulai bermekaran indah. Begitu juga dengan kamboja di sudut jendala ini, mulai mekar dan berkisah tentang harinya. Halaman-halaman rumput itu begitu segar dan mempunyai essense sendiri dari basahnya, entahlah non tapi lebih wangi dari parfum manapun yang kukenal, parfummu bahkan. Walau aku kini mulai lupa wangi parfum itu, senyummu bahkan aku mulai lupa. Sebenarnya ingin sekali mengingatnya, membauinya walau engkau sejauh puluhan kali rasi bimasakti.

Gitanjali di tanganku ini belum lagi habis kubaca, saat tetes terakhir ekspresso meresap dilidahku, yang kerap kelu saat berbicara denganmu. Malam ini aku menikmati seperti biasanya di sofa favorit di kafe ini. Hanya beberapa langkah dari tempatmu menjemput senja, pulang dengan langkah lunglai atau tawa renyah karena sudah habis waktumu hari ini berkutat dengan segala angka dan birokrasi. Bagai sebuah ritme not yang kerap dimainkan di atas steinway klasik, berplitur jati.

Kadang di musim-musim seperti ini aku berharap kembali lagi melihat pelangi, pelangi dalam artian sesungguhnya. Benda setengah lingkaran yang warnanya seindah kosong matamu. Namun pelangi itu tak jua tiba, bahkan hanya untuk mengkonfirmasi kedatangannya lewat sms atau sambungan jarak jauh. kurasa engkau juga telah memakan pelangi itu, seperti engkau makan bulanku. tapi tak apa, aku lebih suka kau memakannya.

Bagaimana kabarmu disana ? bagaimana dirimu sekarang ? kemarin siang manyar-manyar itu mampir ke jendela ini. Berkata malu-malu bahwa engkau telah memotong rambut panjangmu. Sekarang model apa ? membentuk apa ? sebuah puisikah ? atau cerita dari negeri segala lupa mungkin. Ah aku penasaran melihatnya, besok bisikkan kepada manyar-manyar yang kerap mampir itu, biar mereka yang ceritakan kepadaku.

O ya

Kau ingat pohon oak kecil itu, sekarang bertambah besar dan kuat. Ia tumbuh dewasa, kadang meranggas, kadang begitu lebat daunnya. Ratusan orang telah datang ke dalam teduhnya, walau hanya untuk duduk-duduk dan tidur-tiduran bahkan. Kadang aku tercenung, aku ingin sekali menjadi pohon itu, ya…..seperti pohon itu. Yang sukarela memberti teduhnya, agar kamu juga bisa berteduh dibawahnya. Apalagi di musim hujan seperti ini, kamu bisa berteduh dengan siapa saja yang kamu inginkan. Setelah itu cukuplah tinggalkan bayangmu disana.

Sekarang sudah pukul 2 pagi di negeri kemarau ini, cuaca menusuk dingin, bekas-bekas hujan yang turun sore tadi. Di setiap genangan air menuju rumahku, rinduku ikut menetes berbaur dengannya. Rindu pada tawamu…rindu pada senja yang silaukan matamu, sehingga kau tak lagi bisa tertawa dengan kelengkapan dua buah bola mata.



dipost oleh admin, atas ijin sang penulis

rya aria yunnianto

jakarta 11-feb-07



obituari

blog ini adalah blog yang kesekian dari semua tulisan-tulisan saya, kata-kata yang selalu saja beranak pinak menjadi apa segala yang bisa. menjadi pusis, menjadi cerpen, essai, novel menjadi apa saja, darah bahkan kalo perlu. menulis bagi saya adalah pembebasan, menulis adalah perjalanan imajiner, menulis juga adalah suatu ritual cinta buat saya. malam kemarin seseorang yang saya hormati berpulang ke akhirat. seseorang yang menjadi inspirator saya untuk tetap menulis dalam kondisi apapun, beliau memang tak sepopuler penulis lain, namun justru disitulah saya menemukan tapak kaki saya yang sama dengannya. di tengah usianya yang begitu senja, beliau masih suka naik turun angkot dari rumah sanak saudaranya untuk mempost hasil tulisannya ke warnet. pengasingan yang dikenakan terhadap beliau oleh negara tempat saya tinggal juga tidak mempupuskan niatnya dalam menulis. kemarin malam, belum lagi habis saya hisap rokok sebatang, belum lagi datang ice lemon tea di kafe yang penuh sesak ini, sebuah sms masuk di telefon gengam saya :

Berita duka :
sobron aidit telah meninggalkan kita
hari sabtu jam 9 pagi waktu paris.

sejenak mata kami nanar, menatap entah apa. tangis kami tercekat karena seorang comerades berpulang hari ini. selamat jalan pak sobron, senyummu saat kita berfoto bertiga masih tersimpan, belum lagi usang. namun semangat melawan akan terus membuncah didada kami pak sobron.