Sunday, February 11, 2007

amnesia sepenuh hati

Wis, tujuh ratus delapan puluh tiga hari berlalu dari hadapan kita kini. Tak lelah kusapu jalan setapak di pinggir rumah kita meski tak pernah bersih dari kotoran-kotoran yang dijatuhkan burung-burung musim semi dan sampah plastik bekas jajan anak sekolah yang selalu diterbangkan angin memenuhi bulatan-bulatan semen yang kau pasang rapih itu. Aku hampir tak tahu apakah ritual atau siklus yang membelengguku, karena siklus selalu datang setiap kali, sementara ritual telah membekukan hari-hariku ke dalam catatan waktu yang tak pernah terpecahkan oleh kecepatan otakku. Dan malam ini, ketika sunyi meresap pada batubatu yang semakin menghitam, kenangan muncul begitu jelas dalam kelam, lalu menggocoh dan mengelupasi parut-parut memori yang lama mengering dan menebal. Kalau dapat kumasuki labirin benakmu, tentu ingin kucari tahu mengapa kau masih saja berkeliaran sekarang, Wis.

Sih, tujuh ratus delapan puluh tiga hari berlalu dari hadapan kita kini. Belum juga kukenali jalan setapak di pinggir rumah itu meski katamu akulah yang memasangkan bulatan-bulatan semen dimana kaki-kaki jenjangmu selalu menapakinya untuk menjumpaiku. Kau tahu aku masih dan selalu akan ada di sekitarmu sambil melipat-lipat kenangan ini menjadi burung-burung yang akan kuterbangkan pada pesta musim semi di akhir pekan nanti. Apakah kau akan hadir juga di sana, Sih?

Wis, ingatkah kau bahwa aku tak pernah menyukai pesta dan kemeriahan itu? Ya, kulihat kau bersolek dengan rapih untuk pesta itu. Waktu berhasil meluluhkan bekumu ke dalam sebaskom lirik yang melapuk rupanya, meski tak kusangka secepat ini kau berubah pendirian. Tenanglah, selamat menikmati pesta musim semi. Aku tak akan datang, akan kuhabiskan malam di beranda rumah menatap langit yang pasti dihiasi semburan kembang api pesta. Mungkin akan kutemani bintang sekedipan yang menatap iri pada pestamu. Kami akan berbincang akrab sambil merayakan sunyi.

Sih, sakitkah rasanya?

Wis, kau yang mengenalkan aku pada ribuan kombinasi rasa yang ada padanya. Kalau saja rasa itu begitu bernilai untuk semua orang dan berlaku universal, tentu sudah kupotong habis, kumasukkan dalam amplop-amplop cokelat, lalu kukirim kepada sahabat-sahabatku. Sayangnya, tidak. Rasa itu selalu menjadi senyawa yang berbeda setiap kali ia menyentuh kulitku, hingga sia-sia saja bertahun-tahun waktu yang kuhabiskan untuk mencari rumusan rasa yang kau tanyakan: sakitkah?

Kau masih sama, Sih. Tak juga kau ijinkan aku bertamu bahkan sejenak saja dalam duniamu. Lalu, bagaimana akan kutemukan jawabnya?

Apakah kau tahu dimana duniaku berada, Wis? Kalau sisa dunia itu bahkan kini mulai membangun kembali reruntuhannya, kau tak tahu dimana ia berada. Kau tahu, aku sering berharap suatu saat terbentur hati kepada tembok dan kudapati diriku terbenam dalam amnesia sepenuh hati.

Sih, sesalku tak habis oleh umurku. Kau tahu itu sejak mula. Kau yang mengurai luka-lukaku di malam-malam tak bertuan yang begitu tekun kau susuri. Mengapa kau sembunyikan semua dariku, sedang telah kau jelajahi diriku pada malam ketika aroma rumput basah karena embun menyesaki paruparu kita. Senafas kita melarut dalam harumnya dini hari, ingatkah kau, Sih?

Betapa rumput-rumput imaji itu telah tumbuh begitu liarnya dalam benakku, Wis! Ah, andai kau tahu rasanya, telah kutebas habis tapi selalu ia berbalik mengikis rusuk-rusukku. Masih kucari dimana rusuk ini seharusnya berada, sebab kutahu bukan padamu seharusnya rusuk itu berada setelah terkikis imaji liar yang menciutkannya begitu rupa.

Sih, sesalku meresap bersama tarik nafasku. Mari kubantu kau membabat semuanya!

Apa yang akan kau ketahui dari reruntuhan yang sedang kubangun ini, Wis? Sedang jejaknya bahkan tak terbaca olehmu. Tiga peta kuberikan, dan telah kau buang begitu saja.

Sih, malam telah semakin gelap. Jangan sendiri saja.
Wis, malam adalah rumahku.
Sejak kapankah itu, Sih?
Dan kapankah kita pernah bersua, Wis?
Sih, gelap telah meluap.
Ya. Gelap telah melekat pada ariku. Apakah kau takut, Wis?

Kembalilah pada terangmu.

Wis, kau tahu aku tak pernah terlalu terang untuk dapat menyilaukan malam. Pada malam telah kutuangkan warna-warna kelabuku.

Pada malam, Sih?

Ya, pada malam yang mencintaiku dengan caranya memekatkan rasaku tanpa sekatsekat begitu dekat, yang menggenggamku erat-erat sewaktu kubisikkan resahku.

kamarbirukusam di rumahpojok, 03.00


dipost oleh admin, atas ijin sang penulis

milka natalia basuki

jakarta 11-feb-07

No comments: